Sumber: https://Zetizens.id
Datang kabar tragis dari beberapa kampus besar di Indonesia terkait kasus bunuh diri para mahasiswa. Sepanjang tahun 2024, diantaranya telah tercatat sebanyak 4 kasus bunuh diri yang terjadi yaitu kasus mahasiswi PPDS UNDIP yang diduga bunuh diri pada Senin (12/08/2024), kasus mahasiswa Ciputra juga ditemukan tewas di halaman gedung kampus diduga bunuh diri pada Rabu (18/9/2024), kasus mahasiswa semester 3 terjun dari lantai 12 gedung UK Petra dan ditemukan tewas pada Selasa (1/10/2024), dan kasus mahasiswa Unnes ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya diduga gantung diri pada Kamis (3/10/2024). Dari kasus-kasus tersebut, diduga memiliki kesamaan alasan/motif bunuh diri, yaitu stress/depresi dengan berbagai faktor. Kesehatan mental mahasiswa kini menjadi isu yang semakin penting untuk dibahas, terutama dengan meningkatnya tuntutan nilai, beban tugas yang menumpuk, juga tekanan sosial yang dihadapi di lingkungan kampus, menjadi beberapa alasan utama dari stress yang dialami para mahasiswa. Hal ini didukung dengan kurangnya dukungan emosional dari keluarga maupun teman, yang menambah kerumitan pada situasi ini.
Maraknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa menyoroti tekanan luar biasa yang sering dialami oleh mahasiswa selama pendidikan. Pendidikan perguruan tinggi dikenal dengan beban akademik dan praktik yang berat, dimana peserta harus menghadapi tuntutan jam kerja panjang, tekanan untuk selalu tampil sempurna, serta ekspektasi tinggi dari institusi, rekan sejawat, dan masyarakat. Kasus tragis ini membuka mata kita terhadap kenyataan bahwa pendidikan tinggi tidak hanya menguji kecakapan intelektual dan keterampilan praktis, tetapi juga kesehatan mental para mahasiswa. Tekanan yang dihadapi oleh mereka, yang sering kali tidak terlihat oleh masyarakat umum, menunjukkan betapa pentingnya membangun sistem yang tidak hanya mendukung pengembangan profesional, tetapi juga kesejahteraan emosional dan mental mahasiswa. Lalu apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah maraknya bunuh diri dikalangan mahasiswa?
Budaya Hierarki dalam Pendidikan Tinggi di Indonesia
Budaya hierarki masih menjadi salah satu ciri utama dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Tradisi ini seringkali dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada senior atau otoritas, namun dalam prakteknya, senioritas sering berubah menjadi alat kontrol yang berlebihan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan tertentu, tetapi juga merata di berbagai institusi pendidikan tinggi, termasuk pendidikan kedokteran.
Dalam konteks antropologi pendidikan, budaya hierarki sering dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari nilai budaya kolektif. Namun, pendekatan ini sering kali membawa dampak negatif. Senioritas yang seharusnya menjadi wadah untuk membimbing dan mendukung mahasiswa yang lebih muda, justru sering kali menciptakan tekanan psikologis. Tidak sedikit kasus dimana mahasiswa junior merasa terisolasi akibat perundungan atau perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh senior atau pihak otoritas.
Sebagai contoh, sebuah kasus yang terungkap dari catatan pribadi seorang mahasiswa fakultas kedokteran mengilustrasikan dampak buruk budaya hierarki ini. Dalam buku hariannya, korban menggambarkan tekanan yang ia rasakan akibat sistem hierarki yang terlalu dominan. Ia merasa tidak memiliki ruang untuk menyuarakan pendapat atau mencari bantuan, meskipun ia menghadapi tekanan mental yang berat. Akibatnya, individu seperti korban ini seringkali terjebak dalam lingkaran isolasi yang memperburuk kondisi emosional dan akademiknya.
Fenomena ini menggarisbawahi tantangan besar dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Budaya hierarki yang terlalu kaku menciptakan atmosfer yang kurang ramah bagi mereka yang membutuhkan dukungan emosional. Dalam dunia pendidikan yang ideal, lingkungan akademik seharusnya menjadi tempat yang inklusif, di mana semua individu dapat berkembang tanpa takut akan diskriminasi atau tekanan dari pihak lain.
Tekanan Kesehatan Mental dalam Pendidikan Tinggi
Dalam kasus ini, tekanan kesehatan mental menjadi faktor yang sangat penting. Depresi yang dialami oleh korban menunjukkan bagaimana beban akademis yang berat, tuntutan profesi, dan isolasi sosial dapat menyebabkan tekanan psikologis yang tidak tertangani dengan baik. Meskipun korban berada dalam dunia medis, sistem pendidikan seringkali mengabaikan pentingnya dukungan kesehatan mental bagi mahasiswa.
Faktor penyebab utama dari masalah ini antara lain adalah tuntutan tinggi untuk tetap berada dalam program pendidikan meski tidak merasa cocok, ketiadaan layanan konseling profesional yang mudah diakses, serta stigma terhadap individu yang dianggap “lemah” atau tidak mampu mengatasi tekanan yang ada. Situasi ini memperburuk kesehatan mental peserta didik yang sebenarnya membutuhkan dukungan, bukan justru diabaikan atau disalahkan.
Faktor Psikososial: Beban Finansial yang Berat
Selain tekanan mental yang dialami korban, kasus ini juga menunjukkan dampak dari faktor psikososial, khususnya beban finansial yang berat. Korban merasa terjebak dalam program karena tidak dapat mengundurkan diri tanpa harus membayar penalti sebesar Rp500 juta (PPDS Universitas Diponegoro), jumlah yang sangat membebani keluarganya. Beban finansial ini memperburuk kondisi mental korban, yang merasa terpaksa tetap berada dalam lingkungan yang menekan, meskipun kesejahteraan mentalnya terganggu. Akibatnya, korban kesulitan untuk membuat keputusan yang terbaik bagi dirinya sendiri dan terjebak dalam sistem yang semakin memperburuk kondisi psikologisnya.
Untuk mengatasi permasalahan yang terungkap dalam kasus ini, beberapa solusi harus diterapkan di berbagai aspek. Pertama, reformasi budaya pendidikan kedokteran yang lebih kolaboratif antara senior dan junior perlu didorong untuk mengurangi perundungan. Selain itu, lembaga pendidikan medis wajib menyediakan layanan konseling yang mudah diakses oleh peserta didik, serta meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental melalui program pelatihan.
Selanjutnya, kebijakan penalti finansial yang membebani peserta didik yang ingin mundur harus dievaluasi ulang. Institusi pendidikan bisa memberikan opsi konseling keuangan dan solusi alternatif untuk membantu peserta didik yang menghadapi kesulitan finansial atau psikologis. Dengan adanya perubahan ini, diharapkan lingkungan pendidikan dapat mendukung kesehatan mental dan kesejahteraan peserta didik secara lebih menyeluruh.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa di Indonesia menunjukkan adanya masalah serius dalam sistem pendidikan yang tidak hanya menekan secara akademis tetapi juga emosional. Faktor-faktor seperti budaya hierarki, beban akademis yang berat, dan kurangnya dukungan mental berperan besar dalam meningkatnya tekanan psikologis yang dialami mahasiswa. Selain itu, beban finansial yang tinggi semakin memperburuk kondisi kesehatan mental mereka. Reformasi dalam sistem pendidikan diperlukan, termasuk perbaikan dukungan kesehatan mental dan evaluasi kebijakan yang membebani mahasiswa. Mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih mendukung, di mana kesehatan mental dan kesejahteraan emosional menjadi prioritas. Berikan dukungan bagi sesama dan dorong perubahan positif di institusi pendidikan agar mahasiswa dapat berkembang tanpa tekanan berlebihan.
Penulis:
Kelompok 7 – IKM 3B
- Indira Zulfa Fitriani (191231011)
- Aura Lorence Livianty (191231060)
- Nashwa Putri Hermawan (191231068)
- Mukhammad Arif Suseno (191231072)
- Nisrina Nanda Eka Rahayu (191231074)
- Aisha Saraswati Pratama (191231131)
- Clarissa Faza Damayanti (191231196)