MAKAN UNTUK PELAMPIASAN: DARURAT OBESITAS DI KALANGAN REMAJA

Sumber: https://www.weljii.com/blog/what-is-emotional-eating-and-how-can-you-stop-it/ 

 

Remaja sering disebut sebagai masa perubahan yang penuh gejolak.  Usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa ini  menjadikan remaja mengalami perubahan, baik secara fisik, mental, dan kehidupan sosial. Tak jarang, remaja kerap mendapat tekanan dari berbagai aspek kehidupannya seperti tugas dan kegiatan akademik, hubungan pertemanan, keluarga, hingga pengaruh budaya dan tren yang tersebar di media sosial. Tekanan yang remaja dapatkan memiliki pengaruh terhadap emosi yang mereka rasakan.

Dengan tekanan dan gejolak emosi yang cenderung tidak stabil, sebagian remaja mencari cara atau solusi untuk mengatasinya. Salah satunya cara penyelesaian emosi yang dilakukan remaja adalah dengan makan. Makan sejatinya bertujuan sebagai respon rasa lapar dan pemenuhan energi, kini bergeser sebagai respon untuk emosi negatif yang perlu dituntaskan. Fenomena inilah yang disebut sebagai emotional eating atau makan yang dipengaruhi emosi. 

Namun sayangnya, harapan memperbaiki emosi dengan makan malah berakibat buruk pada pola makan remaja. Perilaku makan karena emosi ini jika dilakukan terus-menerus dapat menjadi risiko penyakit obesitas. 

Emotional eating atau makan karena emosi seringkali melibatkan makanan tinggi kalori dan gula, seperti permen, cokelat, atau makanan ringan berlemak. Jenis makanan ini dipilih karena dapat memberikan rasa nyaman yang instan, meskipun efeknya hanya sementara. Penelitian menunjukkan bahwa makan karena emosi tidak didasarkan pada kebutuhan tubuh yang lapar, tetapi lebih pada respons terhadap emosi negatif seperti stres atau kecemasan. Makanan-makanan ini, selain tinggi energi, seringkali rendah nilai gizi, sehingga berkontribusi pada peningkatan risiko obesitas jika dikonsumsi berlebihan secara terus-menerus.  

Dalam kehidupan sehari-hari, tekanan emosional pada remaja, seperti stres menghadapi ujian atau konflik dengan teman, seringkali memicu kebiasaan pola makan tidak sehat ini. Misalnya, saat merasa cemas karena nilai yang buruk, seorang remaja cenderung mencari pelarian dengan mengonsumsi camilan manis secara berlebihan. Kebiasaan ini berdampak pada ketidakteraturan pola makan, di mana asupan kalori yang masuk jauh melampaui kebutuhan energi harian. Jika tidak diatasi, pola seperti ini dapat berlanjut menjadi kebiasaan jangka panjang yang merusak kesehatan, baik secara fisik maupun mental.

Individu dengan perilaku makan karena emosi ini cenderung mengonsumsi makanan tinggi kalori, gula, dan lemak tanpa mempertimbangkan rasa lapar fisik. Hal ini dapat menyebabkan asupan kalori yang berlebihan, yang berkontribusi pada peningkatan berat badan dan risiko obesitas. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan perilaku makan karena emosi  (emotional eating) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami obesitas. Dalam studi ditemukan bahwa mereka yang memiliki skor perilaku makan karena emosi (emotional eating) tinggi berisiko 3,32 kali lebih besar untuk mengalami obesitas dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor perilaku makan karena emosi (emotional eating) rendah. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku makan karena emosi dan kejadian obesitas, yang menjadi perhatian penting terutama di kalangan remaja.

Obesitas pada remaja merupakan masalah kesehatan yang kompleks dengan dampak luas pada fisik, psikologis, dan sosial. Secara keseluruhan, dampak-dampak ini saling terkait dan menciptakan tantangan bagi perkembangan remaja. Berikut merupakan pembahasan lebih mendalam mengenai dampak obesitas dari berbagai aspek:

  1. Dampak Fisik: Obesitas dapat menyebabkan masalah kesehatan serius seperti diabetes tipe 2, hipertensi, penyakit jantung, gangguan tidur, dan masalah muskuloskeletal.
  2. Dampak Psikologis: Remaja obesitas sering mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri, serta perasaan terisolasi dan stigma sosial yang memperburuk kondisi emosional mereka.
  3. Dampak Sosial: Obesitas dapat mengganggu interaksi sosial, menyebabkan kesulitan bergaul dengan teman sebaya, dan berpotensi menimbulkan diskriminasi, yang berdampak negatif pada hubungan interpersonal dan kualitas hidup.

Perilaku makan karena emosi  merupakan bentuk dari pelampiasan dalam menghadapi stress. Dalam memperbaiki dan mengatasinya, memahami dan mengelola emosi adalah salah satu cara yang dapat dilakukan sebagai akar dari emotional eating. Selain itu, perilaku makan ini merupakan siklus yang berulang karena menjadi zona nyaman dalam menghilangkan stress. Pola makan sehat yang terjadwal dapat menjadi salah satu cara efektif pula dalam mencegah dan mengatasi perilaku makan karena emosi (emotional eating) sambil mencari akar penyebab emosi negatif dan mengembangkan strategi coping yang lebih sehat. Mengenali situasi dan perasaan serta mengetahui emosi pemicu apa saja yang dapat menyebabkan emotional eating terjadi adalah hal yang perlu dilakukan, sehingga dapat dialihkan pada hal lain untuk menghadapinya, seperti olahraga, journaling, jalan-jalan, dan lain-lain. 

Dukungan dan edukasi mengenai pola makan juga perlu diperhatikan dalam menghadapi dan mengatasi perilaku makan karena emosi (emotional eating). Saat ini, masih cukup banyak yang belum tau dan belum paham mengenai jenis perilaku makan ini. Keluarga, teman, dan orang-orang sekitar termasuk diri pribadi perlu meningkatkan pengetahuan dan kepedulian terhadap kondisi perilaku makan karena emosi (emotional eating) ini. Dengan demikian, perilaku makan yang bergantung dengan emosi ini dapat diatasi sebab adanya dukungan dan bantuan dari pihak-pihak sekitar.

     Emotional eating atau perilaku makan karena pengaruh emosi merupakan respons umum remaja terhadap tekanan emosional, yang sering kali diwujudkan melalui konsumsi makanan tinggi kalori, gula, dan lemak tanpa memperhatikan rasa lapar fisik. Perilaku ini didorong oleh emosi negatif seperti stres dan kecemasan, bukan oleh kebutuhan fisiologis tubuh. Jika tidak segera diatasi, perilaku makan karena emosi (emotional eating) dapat berlanjut menjadi kebiasaan jangka panjang yang meningkatkan risiko obesitas. Obesitas pada remaja memiliki dampak yang luas, meliputi masalah kesehatan fisik seperti diabetes dan penyakit jantung, dampak psikologis seperti rendahnya harga diri dan depresi, serta dampak sosial seperti diskriminasi dan isolasi sosial. Oleh karena itu, fenomena ini memerlukan perhatian serius mengingat kompleksitas dan dampak jangka panjangnya terhadap perkembangan remaja.

      Harapan penulis tentunya remaja diharapkan dapat memilah atau mengelola emosi tanpa bergantung pada makanan dengan pola yang tidak sesuai, tentunya hal ini juga perlu adanya pemahaman dan dukungan dari orang terdekat dan lingkungan juga sangat berpengaruh. Dengan pemahaman ini diharapkan juga remaja tidak lagi mengaitkan emosi dengan makan yang tidak sehat dan pola makan yang salah, sehingga berujung menimbulkan penyakit jangka panjang bagi kesehatan seperti obesitas.

 

Kelompok 1 IKM B 2023

Nama anggota:

  1. Diva Tiara Kamila Gianti 191231013
  2. Yoan Yollanda 191231015
  3. Dwi Afiyah Hanun 191231017
  4. Salsa Vibrianti 191231066
  5. Khoirunnisac Salza Bella Wijaya 191231070
  6. Elok Faridatin Najwa 191231137

Nathania Ola Novita Mahendahi 191231201